Entri yang Diunggulkan

Meneruskan Aspirasi Historis

Mencapai cita-cita luhur yang hakiki merupakan sebuah keniscayaan untuk bersahabat dengan penderitan dan pengorbanan. Tentu dalam instrumen ...

Rabu, 19 Desember 2018

Mengkaji Konsep Sosio-Islam di Nusantara

Mendengar kata islam, pasti kita akan berpikir terhadap sebuah agama dengan konsep konsep spiritualitas yang yang masih eksis bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan, islam sendiri memiliki hak hak dan norma norma yang logis serta mudah diterima oleh kalangan masyarakat awam.
Sebelum ditelisik lebih dalam, perlu adanya sebuah wawasan atau wacana mengenai agama itu sendiri, menurut Wikipedia.com, agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
 Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap gerak gerik yang kita lakukan dan paradigma yang kita miliki, agama selalu menjadi pedoman atau sebuah dogma bagi setiap penganutnya. Dari sekian banyak penganut agama yang bercabang di dunia, islam merupakan agama samawi yang menduduki peringkat nomor satu di seluruh manca negara.
Mengapa demikian?, dalam hal ini perlu ditilik dari masyarakat sendiri yang pada mulanya menganggap agama atau islam sendiri merupakan hal yang asing sampai menjadi ajaran yang tidak tabu. Namun pada akhirnya, mereka tertarik untuk mengkaji dan menganut agama islam itu sendiri.
Dari pelbagai problematika dan kontroversi yang ada dunia ini, islam hadir ditengah tengah mereka sebagai penengah yang memberikan jalan serta konsep yang efektif, inovatif dan progresif. Melalui caranya yang lugas dari sumber kitab sucinya (al-qur’an), islam tidak hanya mengajarkan tentang norma norma hukum (rule of law) dan juga norma norma religious yang bersifat transenden.
Akan tetapi, jika kita sedikit melirik pada fakta yang bertebaran dilapangan, mayoritas mengatakan bahwa islam hanya sebuah konsep yang berisi tentang kegiatan kegiatan ilahiyat dan juga konsep konsep ketuhanan, selain hanya berupa konsep ilahiyat, islam juga memberikan sebuah paradigma yang memiliki korelasi antara haqqul adam. Akan tetapi, sering kali pada konsep yang terakhir ini sangat jarang di indahkan sehingga disvergensi dan disuasi sering terjadi pada umat islam sendiri.
Sedikit memandang paradigma islam ke barat khusunya di amerika, setelah tragedi WTC, islam seolah olah menjadi agama yang tak jauh dari kata kriminalitas. Sebagian dari penduduk awam amerika yang takut terhadap islam, yang sat ini kita kenal dengan istilah islamphobia. Padahal pada hakikatnya, islam telah mengajarkan untuk saling menghormati dan saling menghargai antar umat agar integrasi bangsa tersebut menjadi lebih progresif dan inovatif.
Menurut penduduk awam amerika, eksistensi islam seolah olah berlaku tidak adil dan bersikap diskriminatif dalam berinteraksi antar sesama. Tak hanya itu, islam bahkan kerap kali dicap radikalis, padahal hal itu sangat bertentangan dengan konsep yang telah terdogma di dalam esensi al-qur’an sendiri.

Sosio-islam di zaman modern

Intensi semua agama pada umumnya adalah ingin merealisasikan adanya sebuah solidaritas dan tasammuh antar sesama umat, bukan malah membuat kerusakan atau degresi moral maupun bangsa. Dari sekian banyaknya agama yang berusaha mengajarkan kebaikan serta kebajikan, islam merupakan ajaran yang sangat relevan bagi masyarakat. Terbukti, di pelbagai zaman apapun, islam mampu beradaptasi dan eksis dalam memecahkan tiap tiap problematika antar sesama maupun lingkup tatanan negara.
Fakta yang beredar dilapangan saat ini menyebutkan bahwa banyak dari penduduk islam yang mengatakan, bahwa Islam hanya berisi konsep ketuhanan. Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara inten dan tidak adanya tindakan kongkrit. Otomatis islam yang hakiki akan menjadi bayang bayang semu di telinga masyarakat sosial.
Sebagai contoh yang tidak bisa kita nafikan oleh fakta historis adalah, pada masa dinasti umayyah dan dinasti abasiyah, keadilan dalam islam seolah olah hanya menjadi bayang bayang semu, adanya sebuah kesejahteraan dalam dua dinasti tersebut cukup rumit untuk digapai, bagaimana tidak, orang yang rajin melakukan ibadah : sholat, zakat dan juga peribadatan lainnya, seolah olah mereka lah orang orang yang sholeh dan alim dalam memaknai konsep islam secara hakiki.
Akan tetapi, untuk melihat kaum kaum duafa’ dan orang orang fakir lainnya, sebagian dari mereka kurang peduli dalam hal itu, sehingga yang terjadi adalah sulitnya mencapai loyalitas dan kesejahteraan bersama antara pejabat dengan rakyat jelata
Beralih ke Nusantara, kata islam sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, mayoritas penduduk di Indonesia merupakan pemeluk setia agama islam. Akan tetapi, fakta yang terjadi di kalangan masyarakat menunjukan adanya sebuah ketimpangan sosial. Sebagai contoh, orang miskin, janda dan fakir miskin yang kehidupannya masih di ambang pintu (belum terjamin). Memang, pada beberapa dekade pemerintah sudah menyikapi hal itu.
 Akan tetapi, faktanya adalah banyak dari mereka yang masih melarat. pemerintah perlu merespon lekas agar kehidupan mereka terjamin. Jika tidak, dapat dipastikan, angka pengangguran akan meningkat dan tindakan kriminalitas tak akan mampu untuk dibendung.
Jika hal ini dibiarkan begitu saja. Lantas, dimana makna islam yang hakiki?. Bagaimana nasib bangsa yang kurang memedulikan fakir miskin yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?. Mau disebut apa bangsa kita jika hal mengerikan itu terjadi?, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama dengan pelbagai aksi untuk mengubah bangsa menjadi lebih progresif.
Kembali pada makna agama, dalam bahasa sangsekerta, A berarti tidak, sedangkan GAMA bermakna kacau balau. Dengan begitu, jelas bahwa agama memiliki peranan penting bagi tiap individu. Selain itu, konsep pemikiran progresif yang memadukan sosio-islam juga perlu diterapkan secara matang. Hal  itu dikarenakan, agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan bangsa akan menjadi bangsa yang progresif serta mampu bersaing di kancah global.
Upaya sosio-islam terutama dalam menjunjung asas keadilan bagi bangsa harus di upayakan khususnya kepada mereka yang tak mengetahui arti dasar falsafah keislaman. Oleh karenanya, perlu adanya aksi dari para revolusioner agar islam mampu menjadi kebutuhan primer bangsa dalam berinteraksi serta memberikan kontribusi bagi umat.

Penulis merupakan siswa aktif kelas XII PK 1

2 komentar: