Sekolah merupakan sarana utama untuk memberikan pendidikan
yang bermutu bagi putra-putri bangsa,
hal itu bertujuan agar generasi mampu bersaing di kancah global dengan
negara-negara lainnya, baik dari segi tatanan ekonomi, politik maupun sosial
budaya yang seharusnya memang perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan cara
yang khusus.
Sebagai negara berkembang, indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki metode pendidikan dengan formulasi yang sangat detail, hal
ini dapat dilihat dari sistem pendidikan indonesia yang telah mampu melahirkan
generasi bangsa yang memiliki daya pikir yang relatif kuat dan cara berpikir
yang mampu melahirkan sebuah terobosan cemerlang untuk menyelesaikan
problematika bangsa.
Tak hanya mampu
membuat rumusan dalam meluluhkan permasalahan, indonesia juga mendidik anak
bangsa dengan pelbagai pelajaran yang memang dikhususkan, semisal matematika,
IPA, IPS Dsb. hal itu dikarenakan agar persaingan profesi kerja dalam negeri
pun terus terjadi untuk menuju indonesia emas di tahun-tahun mendatang.
Suguhan lainnya dalam ranah pelajaran adalah adanya sebuah
pelajaran yang dapat diterima melalui
kejadian yang empiris. Artinya,
pelajaran tersebut didapat bukan melalui prosedur mekanisme kerja seorang siswa
dalam mengasah kemampuannya. Melainkan, siswa tersebut memperoleh pengetahuan
itu melalui cara yang ia sukai, sehingga, metode ini pun mampu menjadi salah
satu metode efektif bagi paradigma siswa itu agar mampu menjadi pemuda elintis.
Namun sayangnya, pelajaran ini nampaknya menjadi pengganggu
pada mata pelajaranyang cenderung tuntutan, pasalnya, pelajaran semisal
kepemimpinan dan pendidikan karakter pun memiliki kecenderungan negatif bagi
kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
terkadang, siswa yang senang menggeluti organisasi kewalahan
dalam mengurus kinerjanya, disamping ia harus mengikuti mata pelajaran selama
sembilan jam, ia pun memiliki sebuah amanah yang harus ia laksanakan
secepatnya, alhasil, korelasi antara keduanya pun menghasilkan hasil yang
kurang optimal dalam menyerap ilmu yang didapati siswa itu.
Ini pun sama halnya dengan para jurnalis di sekolah yang
memiliki kesibukan pada jam sekolah, yakni,
ketidak adaannya waktu senggang dalam melaksanakan pekerjaan itu. Jika kita
analisa bersama, lembaga pers yang berada di bawah naungan Madarsah memiliki
keterbatasan dalam menjalankan tugas, saat pembelajaran KBM aktif, seluruh
siswa dituntut untuk memasuki kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran
sebgaimana mestinya,
Sedangkan pada malam hari, para jurnalis kurang
diperbolehkan dalam menjalankan tugasnya sehingga, para jurnalis pun rela
mencuri waktu meski hanya beberapa menit untuk menyelesaikan tugas. Jika kita
mengambil kesimpulan atas contoh tadi, maka timbul sebuah pertanyaan yang
menggelikan. lantas, dimana ruang gerak
kebebasan para jurnalis dalam menyelesaikan tugasnya secara optimal ?.
Hal ini pun nampaknya masih menjadi sebuah bayang-bayang
yang masih belum jelas kepastiannya. melihat bahwa realita lembaga pers masih
dianggap sebelah mata oleh oknum terkait, sehingga pembelajaran tuntutan kian
ditekankan dalam menggali potensi siswa daripada pelajaran yang bersifat
penalaran dan aksi nyata yang mestinya mereka sukai.
Padahal jika kita kategorikan, seorang siswa yang menjadi
seorang jurnalis di sekolah itu dan siswa yang hanya aktif di pembelajaran
dikelas adalah dalam kategori sama-sama belajar, mereka pun sama-sama
berkembang dalam bidangnya masing-masing,
Jika masing-masing dari mereka diberi ruang gerak yang
seimbang dan adil, hal ini tentunya akan berdampak pada eksistensi sekolah
bahwa disekolah tidak hanya melahirkan seorang yang ahli dalam teori, namun
juga ahli dalam bidang kepemimpinan, berorganisasi dan bahkan mampu melahirkan
seorang jurnalis yang cakap.
Dewasa ini, pelbagai sekolah pun sudah mulai menggunakan
sistem yang berbeda, yakni sistem yang biasa kita kenal dengan fullday school, tentunya hal ini menjadi
salah satu faktor pemicu utama yang juga
berdampak pada ruang gerak jurnalis yang sempit untuk mematangkan pembelajaran
para jurnalis baik secara otodidak maupun dengan bimbingan.
Hal ini pun juga memiliki korelasi dengan adanya program
lembaga pers yang berupa koran, tentu adanya koran itu harus adanya kebijakan
tentang waktu khusus dalam penerbitannya yakni dua kali dalam satu minggu, baik
dari segi peliputan, wawancara maupun segi lay out koran tersebut.
Tak hanya akan memberi efek positif bagi sekolah, hal ini
pun juga akan berdampak pada instansi yang kelak menerima siswa lulusan sekolah
itu. tentunya instansi tersebut tidak akan merasa dirugikan dengan terekrutnya
anggota baru yang telah memiliki nilai plus dalam bidang di instansi tersebut.
Oleh karenanya, perlu adanya sumbangsih lebih mengenai waktu
para jurnalis agar mampu menyelesaikan tugas secara optimal, dengan adanya
hasil yang optimal itu, tentunya akan memberi kontribusi nyata bahwa madrasah
pun memiliki siswa yang ahli dalam bidang jurnalistik, baik peliputan, berita,
lay out dsb.
Penulis merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma
MA Nurul Jadid masa Bhakti 2018-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar