Entri yang Diunggulkan

Meneruskan Aspirasi Historis

Mencapai cita-cita luhur yang hakiki merupakan sebuah keniscayaan untuk bersahabat dengan penderitan dan pengorbanan. Tentu dalam instrumen ...

Kamis, 20 Desember 2018

Meneruskan Aspirasi Historis



Mencapai cita-cita luhur yang hakiki merupakan sebuah keniscayaan untuk bersahabat dengan penderitan dan pengorbanan. Tentu dalam instrumen kehidupan, tiap pengorbanan akan dikenang pada generasi mendatang. Ya, tepatnya tanggal 5 Nopember 2012, sebuah refleksi awal atas perjuangan segelintir orang yang memiliki resistensi tangguh mati matian membentuk aliansi reformis untuk menyongsong identitas MANJ menjadi lebih progresif dan inovatif dalam berkarya.


Atas besarnya lonjakan ambisi dan tingginya aspirasi ketiga pendirilah, pada akhirnya Koran Siswa Manje (KSM) hadir memberikan sajian manis di hadapan generasi sosialis, sehingga penerbitan koran kala itu mampu survive membumbui paradigma pembaca. Tentu dalam penerbitannya, koran satu halaman tak mudah unjuk taring pada publik, pelbagai problematika menjadi rintangan bagi kuli tinta untuk terus memberikan inovasi dalam mengatasi kesenjangan itu.


Syukur alhamdulillah, meskipun koran memiliki pengerjaan waktu yang terbatas, Koran satu halaman ini tetap eksis di hadapan publik. Hal itu tak luput dari apresiasi Madrasah serta kontribusi pembina dan keanggotaan redaksi sendiri yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan eksistensi koran tiap harinya.


Dalam konteks ini, sudah menjadi responsibilitas redaksi untuk senantiasa memperhatikan konsistensi koran pada tiap penerbitan, hal itu dimaksudkan agar eksistensi koran tetap diakui serta menjadi sarana utama siswa menggali informasi dan menyalurkan aspirasi terhadap Madrasah.


Sekedar melirik pada tonggak awal kepengurusan koran. kemunculan koran satu halaman tak lain pada mulanya dimotori oleh tiga orang yang getol untuk menyajikan karya pada publik. Tak semudah membalik telapak tangan, para senior kita berusaha pontang panting untuk menerbit nertibkan koran dengan fasilitas yang sangat terbatas. Bahkan tak jarang, keringat, air mata dan materi menjadi taruhan demi terbitnya koran satu halaman ini.


Pada tahun kedua, eksistensi koran mulai berada diambang yang mengenaskan. Selain minimnya fasilitas, hal itu juga disebabkan adanya sebagian redaksi yang berorganisasi ganda sehingga terkadang pembuatan berita, editing dan lay out bukan menjadi prioritas utama dalam mempertahankan konsistensi koran secara signifikat. Sehingga dibuatlah solusi cemerlang berupa AD-ART kharisma yang menyatakan bahwa setiap anggota dilarang berorganisasi ganda.


Setelah bergulir ke kepengurusan berikutnya, Pelbagai problematika sosial kian menjadi-jadi di tengah kinerja redaksi, sikap acuh tak acuh terhadap tugas mulai menjalar pada beberapa anggota. Koran yang seharusnya terbit pun seringkali molor akibat rasa enggan untuk mengerjakan hal yang telah menjadi kewajiban.


Pada tahun ke empat, permasalahan dan persoalan kian getir dan mengkhawatirkan, bayang bayang sikap apatis mulai menghantui dan menular terhadap paradigma redaksi, adanya fasilitas yang luar biasa membuat pola pikir dan kerja nyata redaksi seringkali terbengkalai. Pasalnya, mereka malah bermanja manja serta merasa berada di zona nyaman. Hal itu mengakibatkan pengurus koran memutar otak untuk membuat koran menjadi aktif kembali. 


Adanya fasilitas yang super mewah rupanya bukan menjadi solusi cemerlang bagi redaksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya. Pasalnya, tak jarang redaksi menyalahgunakan fasilitas serta kurang menjaga fasilitas yang telah dipercayakan pihak Madrasah. Kejadian tragis itu merupakan insiden pada masa kepengurusan koran ke lima.


Beralih ke roda kepengurusan redaksi tahun ke enam ini, pelbagai problematika serasa komplit dirasa oleh redaksi. Meski dengan fasilitas yang relatif megah dan super mewah, redaksi masih akut dihantui dengan permasalahan eksternal. Redaksi seringkali berurusan dengan pihak keamanan baik di Madrasah maupun di Pesantren. Tentu dengan waktu yang terbatas, redaksi tak mampu memaksakan diri berlebih terhadap waktu yang telah ditentukan oleh pihak pesantren, mengingat bahwa status keredaksian juga sebagai santri aktif dalam ruang lingkup pesantren.


Selain itu, rasa egoistis dan kecemburuan sosial seringkali menjadi stigma redaksi dalam mengambil keputusan. Hal ini tentu berdampak keras terhadap keanggotaan redaksi sendiri yang pada akhirnya berujung dengan kontroversi dan konflik dalam ikatan bathiniyah.


kurangnya rasa pengertian dan kepercayaan antar sesama seringkali menjadi ancaman serius terhadap konsistensi koran secara berkala. Rasa solidaritas yang mestinya menjadi kunci eksistensi dan konsistensi redaksi untuk menjalankan kewajiban, seolah olah hanya menjadi bayang bayang semu.


Tingkah laku yang kurang ajar juga acapkali membuat redaksi bersifat angkuh dan apatis terhadap tugas yang menjadi prioritas utama. Sehingga pada hakikatnya, perkembangan redaksi pun sedikit melamban ketimbang tahun tahun sebelumnya. Sejatinya seluruh problematika yang dialami kepengurusan koran pada tahun sebelumnya juga telah dialami oleh tongkat estapet kepengurusan koran saat ini.


Kendati demikian, rasa untuk merevitalisasi pergerakan penerbitan pada dinamika historis selalu terpatri dibenak redaksi, upaya untuk menggali dan mereparasi nilai nilai sejarah pun terus dilakukan demi mencapai masa depan yang gemilang, semisal mereaktifkan program yang sempat fakum dengan bersinergi bersama instansi lain merupakan solusi cemerlang dan efektif dirasa oleh redaksi.


Menela'ah pada hal itu, sudah menjadi kewajiban bagi tiap redaksi untuk terus berambisi meningkatkan kinerjanya di sektor manapun. Dengan terus bergerak dinamis, ber-tafakkur dan saling memahami. Tentu aksi juang dan kontribusi nyata yang orientasinya pada eksistensi penerbitan pun akan tampak dirasa, layaknya pepatah mengatakan "Bergerak maju atau diam dilindas sang waktu", maka dari itu kita tentu mampu memahami hal demikian dengan bersikap loyal demi menggali nilai nilai historis yang kian terpendam sejarah.





Penulis merupakan pimpinan umum redaksi majalah kharisma edisi 29-30

Rabu, 19 Desember 2018

Mengkaji Konsep Sosio-Islam di Nusantara

Mendengar kata islam, pasti kita akan berpikir terhadap sebuah agama dengan konsep konsep spiritualitas yang yang masih eksis bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan, islam sendiri memiliki hak hak dan norma norma yang logis serta mudah diterima oleh kalangan masyarakat awam.
Sebelum ditelisik lebih dalam, perlu adanya sebuah wawasan atau wacana mengenai agama itu sendiri, menurut Wikipedia.com, agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
 Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap gerak gerik yang kita lakukan dan paradigma yang kita miliki, agama selalu menjadi pedoman atau sebuah dogma bagi setiap penganutnya. Dari sekian banyak penganut agama yang bercabang di dunia, islam merupakan agama samawi yang menduduki peringkat nomor satu di seluruh manca negara.
Mengapa demikian?, dalam hal ini perlu ditilik dari masyarakat sendiri yang pada mulanya menganggap agama atau islam sendiri merupakan hal yang asing sampai menjadi ajaran yang tidak tabu. Namun pada akhirnya, mereka tertarik untuk mengkaji dan menganut agama islam itu sendiri.
Dari pelbagai problematika dan kontroversi yang ada dunia ini, islam hadir ditengah tengah mereka sebagai penengah yang memberikan jalan serta konsep yang efektif, inovatif dan progresif. Melalui caranya yang lugas dari sumber kitab sucinya (al-qur’an), islam tidak hanya mengajarkan tentang norma norma hukum (rule of law) dan juga norma norma religious yang bersifat transenden.
Akan tetapi, jika kita sedikit melirik pada fakta yang bertebaran dilapangan, mayoritas mengatakan bahwa islam hanya sebuah konsep yang berisi tentang kegiatan kegiatan ilahiyat dan juga konsep konsep ketuhanan, selain hanya berupa konsep ilahiyat, islam juga memberikan sebuah paradigma yang memiliki korelasi antara haqqul adam. Akan tetapi, sering kali pada konsep yang terakhir ini sangat jarang di indahkan sehingga disvergensi dan disuasi sering terjadi pada umat islam sendiri.
Sedikit memandang paradigma islam ke barat khusunya di amerika, setelah tragedi WTC, islam seolah olah menjadi agama yang tak jauh dari kata kriminalitas. Sebagian dari penduduk awam amerika yang takut terhadap islam, yang sat ini kita kenal dengan istilah islamphobia. Padahal pada hakikatnya, islam telah mengajarkan untuk saling menghormati dan saling menghargai antar umat agar integrasi bangsa tersebut menjadi lebih progresif dan inovatif.
Menurut penduduk awam amerika, eksistensi islam seolah olah berlaku tidak adil dan bersikap diskriminatif dalam berinteraksi antar sesama. Tak hanya itu, islam bahkan kerap kali dicap radikalis, padahal hal itu sangat bertentangan dengan konsep yang telah terdogma di dalam esensi al-qur’an sendiri.

Sosio-islam di zaman modern

Intensi semua agama pada umumnya adalah ingin merealisasikan adanya sebuah solidaritas dan tasammuh antar sesama umat, bukan malah membuat kerusakan atau degresi moral maupun bangsa. Dari sekian banyaknya agama yang berusaha mengajarkan kebaikan serta kebajikan, islam merupakan ajaran yang sangat relevan bagi masyarakat. Terbukti, di pelbagai zaman apapun, islam mampu beradaptasi dan eksis dalam memecahkan tiap tiap problematika antar sesama maupun lingkup tatanan negara.
Fakta yang beredar dilapangan saat ini menyebutkan bahwa banyak dari penduduk islam yang mengatakan, bahwa Islam hanya berisi konsep ketuhanan. Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara inten dan tidak adanya tindakan kongkrit. Otomatis islam yang hakiki akan menjadi bayang bayang semu di telinga masyarakat sosial.
Sebagai contoh yang tidak bisa kita nafikan oleh fakta historis adalah, pada masa dinasti umayyah dan dinasti abasiyah, keadilan dalam islam seolah olah hanya menjadi bayang bayang semu, adanya sebuah kesejahteraan dalam dua dinasti tersebut cukup rumit untuk digapai, bagaimana tidak, orang yang rajin melakukan ibadah : sholat, zakat dan juga peribadatan lainnya, seolah olah mereka lah orang orang yang sholeh dan alim dalam memaknai konsep islam secara hakiki.
Akan tetapi, untuk melihat kaum kaum duafa’ dan orang orang fakir lainnya, sebagian dari mereka kurang peduli dalam hal itu, sehingga yang terjadi adalah sulitnya mencapai loyalitas dan kesejahteraan bersama antara pejabat dengan rakyat jelata
Beralih ke Nusantara, kata islam sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, mayoritas penduduk di Indonesia merupakan pemeluk setia agama islam. Akan tetapi, fakta yang terjadi di kalangan masyarakat menunjukan adanya sebuah ketimpangan sosial. Sebagai contoh, orang miskin, janda dan fakir miskin yang kehidupannya masih di ambang pintu (belum terjamin). Memang, pada beberapa dekade pemerintah sudah menyikapi hal itu.
 Akan tetapi, faktanya adalah banyak dari mereka yang masih melarat. pemerintah perlu merespon lekas agar kehidupan mereka terjamin. Jika tidak, dapat dipastikan, angka pengangguran akan meningkat dan tindakan kriminalitas tak akan mampu untuk dibendung.
Jika hal ini dibiarkan begitu saja. Lantas, dimana makna islam yang hakiki?. Bagaimana nasib bangsa yang kurang memedulikan fakir miskin yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?. Mau disebut apa bangsa kita jika hal mengerikan itu terjadi?, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama dengan pelbagai aksi untuk mengubah bangsa menjadi lebih progresif.
Kembali pada makna agama, dalam bahasa sangsekerta, A berarti tidak, sedangkan GAMA bermakna kacau balau. Dengan begitu, jelas bahwa agama memiliki peranan penting bagi tiap individu. Selain itu, konsep pemikiran progresif yang memadukan sosio-islam juga perlu diterapkan secara matang. Hal  itu dikarenakan, agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan bangsa akan menjadi bangsa yang progresif serta mampu bersaing di kancah global.
Upaya sosio-islam terutama dalam menjunjung asas keadilan bagi bangsa harus di upayakan khususnya kepada mereka yang tak mengetahui arti dasar falsafah keislaman. Oleh karenanya, perlu adanya aksi dari para revolusioner agar islam mampu menjadi kebutuhan primer bangsa dalam berinteraksi serta memberikan kontribusi bagi umat.

Penulis merupakan siswa aktif kelas XII PK 1

Menyoal Ruang Gerak Jurnalis di Sekolah

Sekolah merupakan sarana utama untuk memberikan pendidikan yang bermutu bagi  putra-putri bangsa, hal itu bertujuan agar generasi mampu bersaing di kancah global dengan negara-negara lainnya, baik dari segi tatanan ekonomi, politik maupun sosial budaya yang seharusnya memang perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan cara yang khusus.
Sebagai negara berkembang, indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki metode pendidikan dengan formulasi yang sangat detail, hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan indonesia yang telah mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki daya pikir yang relatif kuat dan cara berpikir yang mampu melahirkan sebuah terobosan cemerlang untuk menyelesaikan problematika bangsa.
 Tak hanya mampu membuat rumusan dalam meluluhkan permasalahan, indonesia juga mendidik anak bangsa dengan pelbagai pelajaran yang memang dikhususkan, semisal matematika, IPA, IPS Dsb. hal itu dikarenakan agar persaingan profesi kerja dalam negeri pun terus terjadi untuk menuju indonesia emas di tahun-tahun mendatang.
Suguhan lainnya dalam ranah pelajaran adalah adanya sebuah pelajaran yang dapat diterima melalui  kejadian  yang empiris. Artinya, pelajaran tersebut didapat bukan melalui prosedur mekanisme kerja seorang siswa dalam mengasah kemampuannya. Melainkan, siswa tersebut memperoleh pengetahuan itu melalui cara yang ia sukai, sehingga, metode ini pun mampu menjadi salah satu metode efektif bagi paradigma siswa itu agar mampu menjadi pemuda elintis.
Namun sayangnya, pelajaran ini nampaknya menjadi pengganggu pada mata pelajaranyang cenderung tuntutan, pasalnya, pelajaran semisal kepemimpinan dan pendidikan karakter pun memiliki kecenderungan negatif bagi kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
terkadang, siswa yang senang menggeluti organisasi kewalahan dalam mengurus kinerjanya, disamping ia harus mengikuti mata pelajaran selama sembilan jam, ia pun memiliki sebuah amanah yang harus ia laksanakan secepatnya, alhasil, korelasi antara keduanya pun menghasilkan hasil yang kurang optimal dalam menyerap ilmu yang didapati siswa itu.
Ini pun sama halnya dengan para jurnalis di sekolah yang memiliki kesibukan pada jam sekolah, yakni,  ketidak adaannya waktu senggang dalam melaksanakan pekerjaan itu. Jika kita analisa bersama, lembaga pers yang berada di bawah naungan Madarsah memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas, saat pembelajaran KBM aktif, seluruh siswa dituntut untuk memasuki kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran sebgaimana mestinya,
Sedangkan pada malam hari, para jurnalis kurang diperbolehkan dalam menjalankan tugasnya sehingga, para jurnalis pun rela mencuri waktu meski hanya beberapa menit untuk menyelesaikan tugas. Jika kita mengambil kesimpulan atas contoh tadi, maka timbul sebuah pertanyaan yang menggelikan.  lantas, dimana ruang gerak kebebasan para jurnalis dalam menyelesaikan tugasnya secara optimal ?.
Hal ini pun nampaknya masih menjadi sebuah bayang-bayang yang masih belum jelas kepastiannya. melihat bahwa realita lembaga pers masih dianggap sebelah mata oleh oknum terkait, sehingga pembelajaran tuntutan kian ditekankan dalam menggali potensi siswa daripada pelajaran yang bersifat penalaran dan aksi nyata yang mestinya mereka sukai.
Padahal jika kita kategorikan, seorang siswa yang menjadi seorang jurnalis di sekolah itu dan siswa yang hanya aktif di pembelajaran dikelas adalah dalam kategori sama-sama belajar, mereka pun sama-sama berkembang dalam bidangnya masing-masing,
Jika masing-masing dari mereka diberi ruang gerak yang seimbang dan adil, hal ini tentunya akan berdampak pada eksistensi sekolah bahwa disekolah tidak hanya melahirkan seorang yang ahli dalam teori, namun juga ahli dalam bidang kepemimpinan, berorganisasi dan bahkan mampu melahirkan seorang jurnalis yang cakap.
Dewasa ini, pelbagai sekolah pun sudah mulai menggunakan sistem yang berbeda, yakni sistem yang biasa kita kenal dengan fullday school, tentunya hal ini menjadi salah satu faktor pemicu utama  yang juga berdampak pada ruang gerak jurnalis yang sempit untuk mematangkan pembelajaran para jurnalis baik secara otodidak maupun dengan bimbingan.
Hal ini pun juga memiliki korelasi dengan adanya program lembaga pers yang berupa koran, tentu adanya koran itu harus adanya kebijakan tentang waktu khusus dalam penerbitannya yakni dua kali dalam satu minggu, baik dari segi peliputan, wawancara maupun segi lay out koran tersebut.
Tak hanya akan memberi efek positif bagi sekolah, hal ini pun juga akan berdampak pada instansi yang kelak menerima siswa lulusan sekolah itu. tentunya instansi tersebut tidak akan merasa dirugikan dengan terekrutnya anggota baru yang telah memiliki nilai plus dalam bidang di instansi tersebut.

Oleh karenanya, perlu adanya sumbangsih lebih mengenai waktu para jurnalis agar mampu menyelesaikan tugas secara optimal, dengan adanya hasil yang optimal itu, tentunya akan memberi kontribusi nyata bahwa madrasah pun memiliki siswa yang ahli dalam bidang jurnalistik, baik peliputan, berita, lay  out dsb.                          
Penulis merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma
MA Nurul Jadid masa Bhakti 2018-2019

Happy Brithday Bapak Mawardi

Seiring berjalannya waktu, konsistensi program progam kharisma terus mengalami perkembangan dan peningkatan yang signifikat, seluruh upaya dan jerih payah redaksi nyatanya tidak menghasilkan sebuah karya dan kreativitas yang tidak sia sia, belajar dari faktor faktor empiris, saat ini terjadilah sebuah revolusi yang kian membawa nama baik Lembaga Pers Siswa (LPS) kharisma dan juga MA Nurul Jadid.
Semangat dan prinsip redaksi yang tiada habisnya terus menjadi sandaran anggota untuk membawa titah nama Madrasah kian gemilang, tak hanya di tingkat Jawa Timur, tapi juga bisa membawa  LPS kharisma dan Madrasah ke seluruh penjuru Nusantara bahkan ke tingkat internasional.
Dalam semangat yang tak henti hentinya menguras semangat dan pemikiran redaksi untuk menjadi lebih progresif dan menjadi siswa yang elintis, hal ini tak lain dan tak bukan juga dilatar belakangi oleh adanya eksistensi sang Pembina dalam mendidik kami, selaku anak didik beliau.
Terbukti dalam seluruh penerbitan, waktu dan tenaga yang dikerahkan oleh kru redaksi selalu mendapat semangat dan sanjungan darinya, bahkan dalam pelbagai kesibukan yang ia miliki, tak segan beliau untuk mengayomi dan menerima saran saran kami untuk kemudian dijadikan sebagai acuan hukum dalam etika pers di kharisma.
Oleh karenanya, rasa emosionalitas tiap kru redaksi pun meluap untuk melaksanakan tiap tiap target yang ditempuh dengan strategis dan sistematis oleh redaksi meski pelbagai batu cadas menjadi penghalang untuk mencapainya. Dalam hal ini pula, tidak adanya sebuah kelebihan yang mampu redaksi berikan selain pra kata yang tidak ada faedahnya dan tidak terlalu bermakna.
Dalam merealisasikan adanya sebuah karya yang dimunculkan oleh para kuli tinta, tentunya sangat urgen dalam menjaga eksistensi penerbitan agar tidak mengalami degredasi yang berkelanjutan. Hal ini pula perlu disokong dari pelbagai pihak agar penerbitan mampu terus konsisten dan kian sukses pada generasi mendatang.
Di setiap pergerakan kru redaksi yang selalu dijilat dengan cacian, hujatan dan makian oleh pelbagai pihak yang terkadang membuat nyali redaksi menciut, pada saat bersamaan itu pula lah beliau hadir mengokohkan jiwa jiwa mereka (redaksi) untuk terus berjuang dan terus berproses sebagai upaya untuk meraih kesuksesan yang hakiki di masa depan nanti.
 Efek itulah yang membuat redaksi sekalian pantang mundur dalam menghadapi pelbagai problematika yang selalu menyudutkan mental seorang jurnalis. Sebagai seorang jurnalis siswa yang bernotabene di lingkungan pesantren, tak ada kata lelah dan keluh kesah dari redaksi, sebab seluruh kru meyakini, bahwa pahitnya proses yang dirasakan saat ini, akan berbuah manis di masa depan.
Oleh karenanya, hari spesial dalam hidup beliau tepatnya tanggal 08 - 08 - 2018 itu, redaksi sekalian menyambutnya dengan tasyakkuran kecil kecilan yang merupakan sebuah timbal balik redaksi terhadap beliau selaku pembimbing redaksi baik dalam keadaan apapun dan bagaimanapun.
Memang tak seberapa, namun hal itu merupakan sedikit apresiasi dan rasa terima kasih terhadap beliau yang tak kenal lelah di setiap penerbitan yang kami lakukan sehingga kami bisa menjadi insan kamil dan mampu menjadi siswa produktif yang beraktualisasi di bidang jurnalistik dengan etos dan Jalinan kerja sama yang erat.  Akhir kata dari kami selaku anggota redaksi, "Happy Brithday bapak mawardi".

penulis adalah siswa aktif kelas XII PK 1

Terorisme : Jihad atau Jahat

Dewasa ini, kita telah digegerkan dengan merebaknya paham paham radikalis yang sedikit ke sedikit membawa bangsa ini mengalami kemerosotan secara terus menerus. Memang tak bisa dipungkiri, paham radikal ini telah mampu eksis menyusupi tempat tempat yang cukup strategis, semisal kampus-kampus sampai ke pemerintahan.
Tak bisa dielakkan pula, eksistensi munculnya ketegangan ektrimisme para radikalis nyatanya tidak melulu dari pelajar atau tokoh tokoh elintis. Paham radikal ini juga telah menyusupi kalangan orang awam untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok tertentu. Alhasil, aksi terorisme pun akan sulit diredam mengingat bahwa penyebar dari aksi teroris di nusantara adalah orang pribumi sendiri.
Kendati demikian, pemerintah telah membentuk Badan Nasioanal Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bertugas untuk memberantas adanya aksi terorisme di Nusantara. Tahun 2018, telah kita ketahui bersama tentang kembalinya organisasi HTI dan JAD yang membuat resah masyarakat sosial.
Contoh kasus organisasi yang melanggar UUD tersebut harus diwaspadai secara inten. Pasalnya, organisasi tersebut tentu akan bertentangan dengan falsafah negara yang menjadi ideologi Negara saat ini. Jika hal ini tidak ditanggulangi secara inten, tentu Indonesia yang demokratis pun lambat laun akan terkikis keberadaanya.  Memang aksi radikal telah menjadi bayang bayang yang mengerikan di dinamika dikalangan pemuda elintis. Pasalnya, pemuda khususnya mahasiswa merupakan penerus bangsa yang memiliki paradigma serta pola pikir yang tergolong bebas.
Adanya terrorisme ini, tentu tak luput dari adanya paham paham radikal yang menjadi akar problematika bangsa, dimana aksi terorisme di kampus ini terjadi lantaran kurangnya pengawasan secara inten oleh para ahli dan guru dalam menjaga anak didiknya ketika melakukan sebuah pergerakan yang sistematik. Bahkan, terpisah dari itu semua, dosen atau tenaga pengajar di Kampus juga membawa paham radikalis yang disusupi ke anak didiknya sehingga membuat pradigma pelajar awam cenderung berubah bengis dan menjadi salah kaprah.
Namun jika melihat terhadap fakta yang ada, hal itujarang adanya, mengingat bahwa tenaga pengajar merupakan orang  telah memiliki keyakinan yang mantap dan pemahaman yang begitu kuat, sehingga paham radikal akan lumayan susah untuk mengubah dogma akal terhadap tenaga pengajar tersebut.
Paham radikalisme ini terjadi sebab wawasan yang didapat oleh para pelajar itu kurang kritis (dangkal) -dirinya hanya berpaku pada satu konteks dan satu teori, sehingga  yang terjadi adalah ia merasa orang yang paling benar dalam mendalami sebuah doktrinan dan menganggap semuanya adalah fiktif belaka yang harus segera dimusnahklan. Bahkan tak jarang, para penganut selain ajaran yang ia bawa ia klaim sesat, neraka, bahkan kafir.
Apabila hal itu telah merebak ke seluruh tempat di Indonesia, maka jelas yang akan terjadi adalah kurangnya rasa saling menghargai, cinta mencintai dan  saling menghormati antar umat. Bahkan lebih parah lagi, akan banyak ditemui aksi kriminalitas, intimidasi dan teror yang mengancam dinamika masyarakat secara umum.
Dimana mereka berpikir bahwa mereka telah melakukan jihad yang mengatasnamakan agama sebagai benteng syar'i  adanya penolakan dari agama atau pun golongan lainnya. Padahal, jelas bawa seluruh agama di dunia ini pasti bertujuan untuk berdamai dengan golongan atau agama lainnya,.
Maka dalam hal itu, perlu adanya sebuah  regulasi dan inovasi yang efisien untuk memberikan penyadaran secara bertahap terhadap orang yang telah terjangkit dengan paham paham radikalis, pemerintah harus secara tegas memberikan sangsi terhadap para teroris agar bangsa ini tetap teguh pada ideologi bangsa  dan tetap respect antar umat beragama.
Sedangkan untuk kaum pelajar, maka urgensi pendidikan multikultural merupakan wacana efektif dalam menanggulangi adanya paham radikalisme di Indonesia, mereka perlu disinyalir dan dididik untuk bisa saling menghargai dan saling menghormati meskipun berbeda agama, ras dan budaya.

Penulis merupakan pemimpin redaksi Majalah Kharisma Edisi 29-30

Ramadhan dan Eksistensi Pers KHARISMA

Perjalanan Koran Siswa MANJ (KSM) saat ini sudah mencapai titik nadir. Pasalnya, pada saat menjelang ramadhan, KSM akan di bekukan dan akan kembali di aktifkan sepuluh hari setelah ramadhan mendatang, bersamaan dengan itu pula, majalah KHARISMA edisi dua puluh Sembilan berhasil di launching-kan,
Hal ini merupakan titik akhir bagi redaksi dalam melaksanakan peliputan dan mencari sumber data para narasumber. Akan tetapi, redaksi masih tetap mengemban tugas berat yang tak bisa diremehkan. Yakni dengan adanya distribusi ke pelbagai provinsi di Jawa Timur. Hal ini dilakukan guna memberikan pengalaman terhadap seluruh anggota redaksi dalam mengetahui dan beraktualisasi di bidang jurnalistik dengan baik.
Sementara itu, disamping semua tugas telah terselesaikan. Kini, KHARISMA telah siap untuk me-launching-kan video profil MANJ yang menjadi momok hangat di kalangan siswa maupun guru. Tentu hal ini merupakan batu lonjakan yang gemilang dalam sejarah KHARISMA, mengingat bahwa profil MANJ ini baru pertama kali di buat, dan dalam pembuatannya hanya mengandalkan kemampuan siswa MANJ sendiri, sungguh pencapaian yang perlu diacungi jempol.
Dalam mendidik siswa, lembaga pers KHARISMA telah berhasil mengembangkan mereka menjadi siswa yang produktif dalam dunia tulis menulis. Tak hanya itu, mereka pun tidak menjadi kolot dalam ilmu pengetahuan. Pasalnya, selain tugas mereka menjadi kuli tinta. Mereka juga telah difasilitasi dengan internet yang tentunya perlu penjagaan ekstra dalam penggunaannya agar tidak terjadi hal yang menyimpang.
Redaksi sendiri, pada pertengahan ramadhan 2018 akan mengadakan berbuka puasa dengan melibatkan Lembaga Pers Siswa (LPS) Tabilla dari MAN 1 Jember. Hal ini dimaksudkan agar jalinan antar pers se- tapal kuda tetap kokoh dan mampu saling bahu membahu dalam menghadapi tiap cobaan yang di lalui bersama.
Memang sulit di pungkiri, LPS KHARISMA yang bernotabene dipondok pesantren telah mampu membawa nama MANJ menjadi kian gemilang dan popular di provinsi jawa timmur, bahkan di seluruh penjuru nusantara.
Hal itu dikarenakan,  meski LPS KHARISMA berada di dalam naungan pondok pesantren, KHARISMA juga melakukan peliputan ke luar daerah jwa timur, antara lain : Bali, Bandung, Jogjakarta, Jakarta dan Tangerang. Hal ini dimaksudkan agar LPS KHARISMA mampu tersohor menjadi lembaga yang benar benar prestisius dan berakrualisasi dengan baik.
Sedangkan untuk penyeleksian KHARISMA sendiri tergolong ketat. Siswa yang ingin mendaftar, harus memiliki pelbagai persyaratan mental yang kuat dan siap berada d bawah tekanan. Hal itu di maksudkan agar eksistensi LPS KHARISMA tidak  menurun atau pun sampai hilang di tangan orang orang penting.
Tentunya harus ada penanggulangan agar eksistensi KHARISMA tetap terjaga dan tetap menjadi majalah bestandar nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan perekrutan yang akut, keras dan tidak kikuk, agar pola pikir redaksi menjadi terlatih dan memiliki mental yang kuat serta memiliki antusias dalam menjalani kehidupan yang keras di LPS KHARISMA.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma Edisi 29-30

Reliansi Kapiran Para Insurgen Nusantara

Tahun 2016 lalu, kita telah dikejutkan dengan munculnya isu-isu para distruktor di pelbagai penjuru dunia. Tak hanya berkedok sebagai teroris. Nama islam pun diperebutkan untuk menggencarkan aksi liciknya dalam meneguhkan reliasi mereka dan mentolak mundur objek yang menjadi sasarannya. Aksi ini sempat viral dalam jangka panjang dan menjadi sebuah sorotan oleh seluruh dinamika masyarakat dunia maupun media-media yang berefloresen seiring bertambahnya teknologi mutakhir.
Kemudian, hal ini pun membuat bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama islam tentu merespon lekas terhadap perihal –perihal para teroris yang berkedok di dalam jubah islamiyah, dengan mempersiapkan dan menjaga ketahanan bangsa melalui kerja sama antar Negara dan memberikan wacana pendidikan luas  terhadap para pemuda sebagai generasi bangsa agar menjadi pelajar yang elintis dan profesien dalam memahami elemen – elemen yang berada di pelbagai penjuru dunia maupun di Indonesia.
Perpetrasi yang digencarkan oleh para insurgenisme yang radikalis terhadap pemahamannya. Membuat TNI pun turut  turun tangan     dalam mempertahankan NKRI. Jika dilihat dari segi emploemen –emploemen yang pada akhirnya menimbulkan disuasi bagi nusantara. Hal ini dapat dilihat melalui realita yang menyebar di pelbagai Negara-negara besar.
Mirisnya, mereka justru bersembunyi di balik topeng islam. Hal tersebut menimbulkan tanda-tanda disuni hingga menjadi sebuah disvergensi di Negara tersebut. Pelbagai problematika dan disagremen di perbincangkan, rekreminasipun dilontarkan pada lawan, hingga disafeksi timbul dan akhirnya memberikan sebuah konklusi berupa detrimen, regresi dan dereliksi atas bangsa tersebut.
Kendati demikian, pada dasarnya, desiderasi yang ditetapkan oleh para insurgen di otak-otak mereka sungguh dangkal dan rekalsitran. Enunsiasi ini hanya melihat rutinitas kecil yang Nampak dikalangan bangsa Indonesia.
 Padahal pada hakikatnya, mereka mereka tidak tau menau bahwa Indonesia pada dasarnya memiliki kekuatan, kekuasaan dan ketahanan Negara yang tidak diketahui oleh golongan mereka , apalagi melihat janji dan konklusi yang diberikan Negara-negara dunia paa Indonesia yang tak mungkin untuk mudah dihancurkan dengan strategi murahan mereka. Melihat pada relasi yang terus terjalin antara Indonesia terhadap Negara-negara lain secara empiris, tentu hal ini sangat relevan.
Pasalnya, ketahanan dan kekuatan militer serta kecerdasan bangsa dalam merangkai stratergi tentu mampu mentolak mundurkan para distruktor dengan cepat dan sigap, ditambah lagi dengan persenjataan dan tentara-tentara yang siap menjadi utusan Negara yang menjalin relasi yang baik agar mampu mendiskoperkan penghargaan yang gemilang serta progresif dalam menggapai tujuan. Lantas, mengapa Indonesia dikata sangat  lelet dalam melencarkan serangan kepada kaum radikal ?.
 pada hakikatnya, bangsa Indonesia bertumpu atau lebih mengacu pada titik temu atau hal yang bersifat fundamentalis dari segala detrimen yang bermunculan di tanah air.Akan tetapi tidak melepas para insurgen dan masalah-masalah kecil secara mutlaq.
 Dengan cara ini, tentunya para distruktor yang awalnya bahagia bukan kepalang , kini kian kebingungan. Pasalnya, reliansi yang menjadi tumpuan atau pustulat mereka dalam menjalankan aksi telah gagal karena ditolak mundur oleh gencaran yang dilakukan oleh para progreris bangsa ini.
s Oleh karenanya, Indonesia yang dikata lemah dalam persediaan senjata ataupun kesiapan yang belum sempurna, tentu adalah isu belaka yang dating dari stipulator, untuk mengahncurkan moral pelajar Indonesia untuk cinta terhadap bangsa dan Negara.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma Edisi 29-30

Elanvital Menjadi Sarana yang Teredukatif

Dalam kehidupan yang fana ini, terdapat beberapa aspek kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, diantaranya adalah aspek sosial, ekonomi, politik dll. Seluruh aspek tersebut, tentu menjadikan ketergantungan tersendiri bagi seluruh manusia. Hal tersebut dikarenakan manusia secara universal tidak mampu untuk hidup secara individualis.
Kendati demikian, meskipun manusia telah terbiasa hidup secara sosial. Namun, sebagian dari mereka masih saja terdapat orang-orang yang masih menjalani realita dinamika kehidupan ini dengan penuh disafeksi. Bahkan, tidak sedikit orang-orang di dunia ini malah memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sebagai sarana yang Sefisien baginya.
Dalam konteks ini. Orang-orang yang penuh penderitaan berfikiran bahwa dirinya memang merasa penuh dengan derita dari empirik yang pernah orang tersebut alami. Lambat laun, akhirnya hal tersebut berdampak pada psikis seseorang menjadi tertekan. Sehingga, membuat pola pikir dan gaya hidup orang tersebut selalu cenderung berfikir negatif. Akibatnya, mereka memilih untuk melakukan hal-hal  yang diluar nalar humanitarian. Rata-rata orang yang melakukan emploimen tersebut adalah orang yang berputus asa dan tidak mau menerima realita kehidupannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya aksi bunuh diri di berbagai lingkup dinamika sosial, misalnya di rumah sakit atau di penjara yang mayoritas didalamnya terdapat orang-orang yang fobi dan maras akan masa depannya.
Sebenarnya orang-orang yang berlaku demikian kebanyakan adalah orang yang tidak mau tanggap terhadap keadaan sekitar dan berefloresen dengan tepat. Mereka tidak percaya bahwa mereka mampu bangkit dari keterpurukan sehingga membuat mereka selalu berfikir negatif terhadap dirinya sendiri. Sejatinya, orang-orang yang berfikir demikian sangat membutuhkan dukungan besar, baik dari aspek sosial maupun dari diri sendiri. Dengan selalu memberikan dukungan, orang tersebut akan mengubah derogasinya menjadi sebuah pemikiran yang teredukatif dan inovatif yang cenderung akan berfikir positif, sehingga membuat orang tersebut menjadi antusias dan mampu mengubah kehidupannya sedikit demi sedikit menjadi lebih efektif dan efisien dalam menanggapi berbagai hal dikemudian hari.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa percobaan di salah satu universitas ternama, Hardvard. Mereka mengatakan bahwa dengan semangat dan etos yang tinggi jauh lebih utama untuk membuat orang yang menderita menjadi sembuh daripada menggunakan alat-alat yang masih memiliki efek samping. Hal tersebut dikarenakan energi-energi otak yang sebelumnya berfikir negatif berubah menjadi positif sehingga membuat kinerja otak menjadi lebih stabil dan dapat memulihkan keseimbangan tubuh sehingga tubuh menjadi lebih fit.

Artinya, orang yang bersemangat dalam menghadapi realita kehidupan akan tidak mudah putus asa dalam menjalani hidupnya meskipun berbagai halang rintang menghalangi jalan hidupnya. Sehingga orang tersebut akan memiliki masa depan yang bermutu dan efisien. Dalam menjalani kehidupan pula, orang tersebut akan berpikir secara konsisten  dan terkadang mengambil hal yang fundamental dari empirik yang telah dilalui dan mengkonklusnya sebagai kehati-hatian agar mendiskoper kehidupan yang frofit di kemudian hari.

Lembaga Pres, Menuju Masa Depan yang Terjamin

Dalam pembelajaran di Sekolah, kita telah mengenal istilah organisasi dari pelbagai kalangan, baik itu melalui media pembelajaran yang dilakukan intraksi antar guru dan murid, ataupun dari adanya sebuah instansi yang berkembang di Sekolah tersebut, memang jika boleh dikata, adanya sebuah organisasi telah  menjadi momok yang sangat menakutkkan bagi siswa yang anti organisasi.
Memang faktanya, aktivis siswa, baik itu OSIS dan semacamnya seringkali dihujat dan diklaim sebagai orang yang sok suci dan memiliki watak karakter keras terhadap siswa lainnya, hal itu yang menjadi alas an utama siswa untuk membenci aktivis dalam melaksanakan kegiatan yang mereka lakoni.
Sebagai seorang aktivis, tak bisa di pungkiri pula, bahwa hujatan dan cacian seolah telah menjadi konsumsi bagi mereka, namun di satu sisi, mereka memiliki nilai lebih dihadapan golongan lain, yakni sebagai orang yang produktif dan juga mampu meningkatkan reputasi.
Tak bisa dipungkiri, dalam manajemen organisasi, perlu adanya kerja sama tim yang baik, hal itu dimaksudkan agar keanggoatan yang dijalankan mampu berjalan sempurna dan menjadi sebuah kenangan manis kelak. Namun, manajemen organisasi bukanlah hal yang mudah, dalam melaksanakan sebuah kegiatan, selalu saja ada beberapa masalah yang menjadi penghambat siswa dalam menjalankan kegiatan yang dijalankan.
Hal itu pula yang dirasakan oleh media pemberitaan warta sekolah, yakni lembaga pers siswa. Berbeda dengan organisasi organisasi pada umumnya, media pers memiliki kecenderungan yang fatal dan memiliki dampak yang besar terhadap suatu kelompok atau individual perorangan.
Mengapa harus media pers?, hal ini dikarenakan pers memiliki tanggung jawab dalam peliputan berita yang dilakukan setiap hari dengan pelbagai sajian yang terlihat menarik dan elegan. Selain itu, pers juga memiliki jadwal yang sangat padat dalam melaksanakan aktifitas, jadi jangan heran bila siswa yang bergelut di organisasi ini memiliki kesibukan yang super padat kesehariannya.
Jika kita lihat pada fakta yang ada, siswa yang menggeluti dunia tulis menulis dan ilmu kewartaan (jurnalistik) memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan Madrasah sendiri, selain mampu menjadi sarana dalam memberikan informasi yang faktual dan aktual terhadap ruang lingkup siswa, lembaga pers juga dapat menjadi media pengkoreksian sekolah dalam uapaya pembangunan dan pembenahan sekolah menjadi sekolah yang bermutu dan berkualitas baik untuk kemajuan siswa maupun kemajuan pembangunan dan fasilitas bagi siswa dan guru.
Tak bisa disayangkan pula, bahwa dampak positif yang diberikan pers siswa terhadap sekolah juga terdapat orang atau golongan yang proaktif yang mencaci adanya lembaga pers. Yakni, terdapat beberapa guru ataupun dari kalangan siswa sendiri yang membenci siswa produktif menulis. Pasalnya, tak jarang, setiap gerak gerik mereka selalu di awasi oleh kuli tinta ini, alhasil, hal itu membuat mereka menjadi kikuk dalam menjalankan sebuah pekerjaan atau sebuah rutinitas yang bisa mereka tekuni.
Konsekuensinya adalah, apabila mereka melakukan sesuatu yang menarik atau pun menyimpang, mereka tentu akan merasa malu dan kecewa telah apa apa yang menimpa terhadap mereka, dan tentunya, media pers lah yang menjadi penyebab utama runtuh atau naiknya pangkat seorang guru pada ruang lingkup sekolah.

Memanfaatkan waktu.

Dalam perkembangannya, selain menjadi siswa aktif di Sekolah, siswa yang aktif di lembaga pers juga memiliki kesibukan tersendiri yang harus dipenuhi untuk mencapai sebuah kesuksesan dan hasil yang optimal, yakni berupa pengggalian berita, wawancara, editing sampai proses lay out, hal itu semua dilakukan dalam waktu kegiatan pelajaran sekolah dilaksakanan.
Terlebih dikalangan pesantren, tentunya siswa yang berdomisili di sebuah pesantren dan aktif di organisasi kejurnalisasan akan kewalahan dalam mengahadapi  itu semua, maka mau tidak mau, pemanfaatan waktu merupakan satu satunya cara untuk memberantas kemuskilan yang terjadi dikalangan mereka (redaksi).
Dalam proses yang tergolong luar bisaa itu, tentu hasilnya pun akan memuaskan, mereka yang aktif di organisasi pers, tentu sudah memiliki modal yang cukup untuk menghadapi ujian di kalangan mahasiswa. Selain itu, mental yang dimilki oleh siswa tersebut tentu tak perlu dipertanyakan dan diragukan lagi dalam menjalankan aktifitas, yakni, dengan selalu cekatan dalam segala hal dan tidak menunda nunda waktu.
 Selain itu bagi mereka yang aktif di media pers juga akan siap berproses atau berlatih dibawah tekanan demi mencapai hasil yang di inginkan, tak bisa di remehkan bahwa media pers merupakan media yang harus digalakkan oleh sekolah agar mampu menciptakan kader kader bangsa yang memiliki pemikiran yang kritis dan aktif dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian.
Dalam konteks ini, tentu kehidupan masa depan mereka lebih terjamin daripada orang orang pada umunya, mereka akan menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi suatu instansi karena proses  yang dilakukan jurnalis siswa itu sangatlah panjang dan dipenuhi lika liku yang menantang adrenaline.
Oleh karenanya, lembaga pers di sebuah instansi baik di Madrasah ataupun Sekolah harus segera disinyalir bhawa seksistensi adanya lembaga tersebut sangat berartui, apalagi mengaca pada keadaan Indonesia yang mulai terganggu keamanannya oleh teror teror yang berserakan disana sini, tentu denga n adanya media pers, siswa menjadi lebih aktif, produktif, inovatif dan selalu positif dalam melaksanakan sebuah empolemen untuk menjadi masyarakat khususnya menjadi pelaraj yang berkualitas.            
Penulis Merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma edisi 29-30

Peran pers dalam menangani berita palsu (hoax)

Kuatnya arus media dari pelbagai belahan dunia nampaknya telah mampu memberikan dampak negative bagi perkembangan zaman, dengan kuatnya arus media tersebut, media sosial kian tak dapat di urus dengan konkret, hal itu pun berakibat pada golongan-golongan yang memanfaatkan media sebagai sarana kepentingan pribadi dan terkadang untuk mengusung kelompok-kelompok yang mereka geluti.
Dewasa ini, kita telah dikejutkan dengan beredarnya berita fake news (hoax) yang saat ini telah menjadi perbincangan hangat di Indonesia, dimana para pengedar hoax lebih dominan beraksi di media social, pasalnya, media social merupakan slah satu sarana efektif untuk melancarkan aksi bagi para cyber crime untuk mengubar kebencian maupun mengangungkan suatu golongan.
Adapun target dan tujuan dari para pengedar hoax sendiri adalah masyarakat umum yang minim akan pengetahuan dan informasi sekitar, sehingga rasa simpati dan gejolak untuk melakukan sesuatu pun timbul untuk mengikuti hal-hal yang di ajukan oleh para (pengedar hoax).
Dengan adanya hoax yang telah menjamur ini, tentu para jurnalis aktif di tiap instansi tak tinggal diam, pelbagai cara pun dilakukan untuk memberantas terjadinya hoax di dunia. Pasalnya, dengan ketegangan berita hoax yang terjadi di masyarakat umum.
Fakta yang menunjukan bahwa pers menolak keras adanya hoax adalah salah satu instansi ternama, jawa pos, saat ini telah membuat terobosan cemerlang dengan mengangkat rubrik baru yang bernama “Hoax atau bukan” yang menjadi salah satu bentuk penolakan keras  terhadap hoax yang berkoar di Indonesia.   
Hal itu pula akan berdampak pada eksistensi pers untruk kedepannya bahwa lambat laun, masyarakat umum akan tifdak mempercayai berita, sehingga terkadang berita asli pun di hujat sebagai berita yang tergolong palsu,
Tentunya untuk menanggulangi hal ini perlu adanya pendidikan khusus bagi masyarakat, khususnya para pemuda yang saat ini tak mampu lepas dari media sosial. Tak hanya itu, hal ini pula perlu adanya dukungan dan hukuman dari pemerintah tentang orang yang mengubar berita palsu untuk dihukum dengan hukuman yang berat.
Pasalnya, dengan hukuman berat, pendidikan efisien dan langkah jurnalis dalam berperang dengan hoax membuat hoax mampu dipukul mundur dan tidak akan mampu mencari celah sebuah kesalahan untuk mencekoki masyarakat Indonesia dengan berita berita palsu.
Peran jurnalis merupakan peranan yang sangat urgen dalam menuntas habiskan hoax itu, selain berimbas terhadap pers sendiri, hoax juga akan memberi dampak yang sangat merugikan bagi pers, pasalnya, pers yang merupakan jembatan antara pejabat dan masyarakat tentunya akan tidak dipercayai lagi berita-berita yang di muatnya di pelbagai tempat, alhasil, hal ini akan membuat pers menjadi tempat hujatan dan menjadi sasaran amukan masyarakat.

Penulis Merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma edisi 29-30