Entri yang Diunggulkan

Meneruskan Aspirasi Historis

Mencapai cita-cita luhur yang hakiki merupakan sebuah keniscayaan untuk bersahabat dengan penderitan dan pengorbanan. Tentu dalam instrumen ...

Senin, 04 Februari 2019

Melirik Relevansi Demokrasi Saat Ini

Bangsa indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi. Namun pada dasarnya, demokrasi yang dianut oleh bangsa indonesia sendiri telah ter-implementasi dengan nilai nilai pancasila. Sehingga ideologi bangsa kita telah tertumpu pada demokrasi pancasila.
Pancasila pada dasarnya  telah dirumuskan secara konkret oleh para founding father kita. Melihat pada tatanannya, sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia dengan berbasis asas pancasila sangatlah relevan dengan realita yang ada pada masyarakat indonesia saat ini.
Mengapa tidak?, konsep yang  dideklerasikan pasca kemerdekaan ini mampu mewadahi pluralitas yang terjadi di antara masyarakat, baik sangketa hak kewajiban bernegara maupun rasa kekeluargaan yang acap kali saling bertentangan.
Telah sampai pula bangsa kita untuk terus konsisten berfikir kritis dan sadar untuk memajukan bangsa menjadi lebih progresif, baik melalui pembangunan nasional ataupun kontribusi melalui pernyataan pernyataan ilmiah yang mampu menggugah dunia dan memberikan sumbangsih terhadap kemajuan bangsa sendiri.
Mengingat dengan hal demikian, sudah menjadi PR bagi kita bersama agar terus melakukan inovasi inovasi cemerlang agar para penguasa baik itu pemerintah maupun aparat mampu turun tangan secara langsung dihadapan rakyatnya sembari melihat keadaan rakyat yang kian terpuruk kemelaratan di dunia revolusi industri 4.0 ini.
Kendati demikian. sistem demokrasi yang semestinya dijalankan dengan segala amanah dan tanpa pamrih tampaknya tidak sepenuhnya berjalan maksimal. Bangsa indonesia seolah olah kian melarat dibawah naungan demokrasi indonesia. Bukan karena sistem, pada hakikatnya, hal ini merupakan kesalahan rekrutmen sendiri dalam hal perebutan kekuasaan terpimpin kaum elit.
Mereka (elit politik) terkadang tergiur dengan kemegahan materi yang bersifat duniawi, meski pada awalnya, mereka mendeklarasikan adanya sebuah keutuhan dan integritas untuk mewujudkan indonesia emas. Namun setelah mereka mampu eksis dalam pilar kekuasaan, mereka malah bertindak hedonis dan menyimpang dari segala janji yang mereka gembor-gemborkan dijalanan.
Retorika yang mereka gunakan seolah-olah mampu menyihir dan memperagakan metode berfikir yang acap kali membuat masyarakat percaya dengan paradigma yang diusung. Padahal,  tak semua yang menjadi rencana elit politik mampi terealisasikan dengan maksimal dan mampu memuaskan rakyat. Mengingat bahwa rakyat memiliki hak bersuara yang mampu menurunkan derajat pemimpin dalam sistem demokrasi.
Sehingga,  kemelaratan dan keresahan pun menjadi penyakit akut masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Tak hanya itu, kebebasan dalam menyampaikan pendapat pun di"bungkam" karena penguasaan yang tak lagi berpihak terhadap hak suara rakyat dan cita cita yang diharapkan oleh pahlawan pahlawan bangsa.
Pada dasarnyaa, hal ini bukanlah murni ketidaktetapan sistem pemerintahan di Indonesia. Melainkan, kejadian memilukan ini telah terjadi akibat kader kader partai yang memiliki rasa amanah yang kurang teguh, sehingga dalam penyampainnya, seringkali hanya terbaca dalam mulut dan eksistensi belaka. Padahal dalam padanan sistem demokrasi pun, sudah sepatutnya kita menyiapkan kader yang benar benar mau mengayomi rakyat agar kesejahteraan dapat terjalin diantara kelompok elit dengan rakyat seperti yang diharapkan.
Jadi, konsep pemerintahan berbasis demokrasi yang dipadukan dengan pancasila adalah konsep yang tetap relavan diterapkan secara permanen di Indonesia. Hal yang perlu ditanggulangi bersama adalah adanya ketidaknyamanan dalam orang yang menggerakkan sistem demokrasi tersebut.
Bukan pada sistem yang telah dianut bangsa kita saat ini. Oleh karenanya, pengkaderan dalam memilih pemimpin harus dikawal sejak dini dan dipantau aktif. Hal itu dimaksudkan agar apa yang dicita citakan oleh kita bersama dapat terealisasikan dengan baik dan bhineka tunggal ika merupakan wujud citra terjadinya demokrasi tanpa permusuhan yang hakiki.

*Penulis merupakan siswa aktif MA Nurul Jadid Program Keagamaan

Minggu, 13 Januari 2019

Cemburu, Logiskah?

Cemburu, satu kata dengan pelbagai penafsiran yang berbeda. Telah banyak ilmuwan tokoh tokoh bahkan dari kalangan bawah sekalipun yang mendeinisikan kata cemburu. Memang pada hakikatnya, cemburu bukanlah suatu hal yang mampu memberikan keterangan penuh terhadap antar sesama individu.
Dimana pada tiap individu mampu memberikan definisi cemburu terbaik bagi dirinya sendiri, tak terkecuali mungkin mampu menginspirasi orang orang sekitar. kata cemburu seringkali dikaitkan dengan sakit hati yang menggebu, atau rasa rindu.
Dengan demikian, dalam tulisan ini sekalipun, penulis saat ini sedang berada dalam zona rindu yang terbalut dengan rasa cemburu. Penulis sadar bahwa dalam kata cemburu sendiri mengandung pelbagai macam arti yang terkadang mampu membuat rasa nyaman, sungkan maupun rasa sakit yang tersimpan.
Namun, dalam kecemburuan kita sebagai makhluk yang percaya akan adanya agama. kita dituntun untuk mengarahkan rasa cemburu dengan cara dan metode yang benar dan relevan. Jika hal itu tidak dilakukan, otomatis kita akan terus terhanyut dalam kecemburuan sesama makhluk. Tak hanya itu, ketika kata cemburu merambat ke telinga seseorang, jelas bahwa hal demikian sangat identik dengan kata cinta.
Cemburu dan cinta seolah olah sudah menjadi kakak adik yang menjadi penghias dalam bahtera rumah tangga. tentu sebagian orang pun pernah termakan rasa cemburu, karena pada dasarnya, cemburu mampu membawa diri seseorang terjerumus dalam hal kebaikan maupun kejelekan. semisal, seorang tersebut akan bunuh diri sebab rasa cemburu yang ia simpan terhadap sesama makhluk lainnya, atau tentang seorang yang menyerahkan kecemburuannya terhadap tuhan yang maha esa dan percaya atas segala kehendaknya.
Bukan main. faktanya, hal itu seringkali terjadi di belahan dunia manapun. dimana angka kematian yang berkaitan dengan cemburu acapkali menjadi perbincangan hangat publik kala itu. Hal ini pula menjadi sebuah problematika bagi kita bersama agar mampu mengendalikan rasa cemburu pada cara yang benar.
Pada konteks ini, mungkin kita semua bertanya tanya, bagaimana kah cemburu yang benar itu?. sebagian orang mengatakan bahwa hal itu dapat diarahkan terhadap suatu hal yang positif, dimana pada setiap dinamika yang orang tersebt jalani haruslah berpedoman pada hal hal yang positif yang tidak merugikan orang lain dan juga diri sendiri.
Rasulullah S.A.W pernah bersabda "Hai umat Muhammad, tidak seorang pun yang lebih pencemburu selain Allah bila melihat hamba-Nya atau umat-Nya berzina. Hai umat Muhammad, kalaulah kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. al-Bukhari).
Dalam konteks ini, kita sebagai umat islam (umat yang berpedoman pada al-qur'an dan hadist) tentu alangkah lebih baiknya jika kita meminta atau mengutarakan perasaan pada allah semata. terutama apabila kita mencintai terhadap sesama makhluk. Akan tetapi kita cemburu lantaran suatu hal yang terjadi pada diri kita ataupun pada seorang kekasih yang kita cintai.
Alangkah lebih bijaknya bagi kita untuk berpasrah diri terhadap tuhan sang pencipta jagad raya. Terutama dengan sering mengadu dan mencurahkan segala perasaan. Karena pada hakikatnya Allah akan memberikan jalan yang terbaik bagi para hambanya. Tak hanya itu, kita pun diupayakan untuk terus berusaha dan berusaha terhadap segala hal yang menimpa terhadap diri kita.

Dan tentunya dengan selalu istiqomah dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. Dengan demikian, rasa cemburu yang seringkali orientasinya mengarah pada hal hal negaif, sedikit demi sedikit akan menjadi lebih tertata rapi dan malah mengantarkan kita menjadi lebih baik dalam melakukan segala hal. Percayalah !, rasa cemburu bukan suatu halangan bagi seseorang untuk menjadi insan yang lemah, justru sebaliknya, rasa cemburu bisa dijadikan kekuatan meski tak logis untuk dibayangkan, wassalam!

Kamis, 20 Desember 2018

Meneruskan Aspirasi Historis



Mencapai cita-cita luhur yang hakiki merupakan sebuah keniscayaan untuk bersahabat dengan penderitan dan pengorbanan. Tentu dalam instrumen kehidupan, tiap pengorbanan akan dikenang pada generasi mendatang. Ya, tepatnya tanggal 5 Nopember 2012, sebuah refleksi awal atas perjuangan segelintir orang yang memiliki resistensi tangguh mati matian membentuk aliansi reformis untuk menyongsong identitas MANJ menjadi lebih progresif dan inovatif dalam berkarya.


Atas besarnya lonjakan ambisi dan tingginya aspirasi ketiga pendirilah, pada akhirnya Koran Siswa Manje (KSM) hadir memberikan sajian manis di hadapan generasi sosialis, sehingga penerbitan koran kala itu mampu survive membumbui paradigma pembaca. Tentu dalam penerbitannya, koran satu halaman tak mudah unjuk taring pada publik, pelbagai problematika menjadi rintangan bagi kuli tinta untuk terus memberikan inovasi dalam mengatasi kesenjangan itu.


Syukur alhamdulillah, meskipun koran memiliki pengerjaan waktu yang terbatas, Koran satu halaman ini tetap eksis di hadapan publik. Hal itu tak luput dari apresiasi Madrasah serta kontribusi pembina dan keanggotaan redaksi sendiri yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan eksistensi koran tiap harinya.


Dalam konteks ini, sudah menjadi responsibilitas redaksi untuk senantiasa memperhatikan konsistensi koran pada tiap penerbitan, hal itu dimaksudkan agar eksistensi koran tetap diakui serta menjadi sarana utama siswa menggali informasi dan menyalurkan aspirasi terhadap Madrasah.


Sekedar melirik pada tonggak awal kepengurusan koran. kemunculan koran satu halaman tak lain pada mulanya dimotori oleh tiga orang yang getol untuk menyajikan karya pada publik. Tak semudah membalik telapak tangan, para senior kita berusaha pontang panting untuk menerbit nertibkan koran dengan fasilitas yang sangat terbatas. Bahkan tak jarang, keringat, air mata dan materi menjadi taruhan demi terbitnya koran satu halaman ini.


Pada tahun kedua, eksistensi koran mulai berada diambang yang mengenaskan. Selain minimnya fasilitas, hal itu juga disebabkan adanya sebagian redaksi yang berorganisasi ganda sehingga terkadang pembuatan berita, editing dan lay out bukan menjadi prioritas utama dalam mempertahankan konsistensi koran secara signifikat. Sehingga dibuatlah solusi cemerlang berupa AD-ART kharisma yang menyatakan bahwa setiap anggota dilarang berorganisasi ganda.


Setelah bergulir ke kepengurusan berikutnya, Pelbagai problematika sosial kian menjadi-jadi di tengah kinerja redaksi, sikap acuh tak acuh terhadap tugas mulai menjalar pada beberapa anggota. Koran yang seharusnya terbit pun seringkali molor akibat rasa enggan untuk mengerjakan hal yang telah menjadi kewajiban.


Pada tahun ke empat, permasalahan dan persoalan kian getir dan mengkhawatirkan, bayang bayang sikap apatis mulai menghantui dan menular terhadap paradigma redaksi, adanya fasilitas yang luar biasa membuat pola pikir dan kerja nyata redaksi seringkali terbengkalai. Pasalnya, mereka malah bermanja manja serta merasa berada di zona nyaman. Hal itu mengakibatkan pengurus koran memutar otak untuk membuat koran menjadi aktif kembali. 


Adanya fasilitas yang super mewah rupanya bukan menjadi solusi cemerlang bagi redaksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya. Pasalnya, tak jarang redaksi menyalahgunakan fasilitas serta kurang menjaga fasilitas yang telah dipercayakan pihak Madrasah. Kejadian tragis itu merupakan insiden pada masa kepengurusan koran ke lima.


Beralih ke roda kepengurusan redaksi tahun ke enam ini, pelbagai problematika serasa komplit dirasa oleh redaksi. Meski dengan fasilitas yang relatif megah dan super mewah, redaksi masih akut dihantui dengan permasalahan eksternal. Redaksi seringkali berurusan dengan pihak keamanan baik di Madrasah maupun di Pesantren. Tentu dengan waktu yang terbatas, redaksi tak mampu memaksakan diri berlebih terhadap waktu yang telah ditentukan oleh pihak pesantren, mengingat bahwa status keredaksian juga sebagai santri aktif dalam ruang lingkup pesantren.


Selain itu, rasa egoistis dan kecemburuan sosial seringkali menjadi stigma redaksi dalam mengambil keputusan. Hal ini tentu berdampak keras terhadap keanggotaan redaksi sendiri yang pada akhirnya berujung dengan kontroversi dan konflik dalam ikatan bathiniyah.


kurangnya rasa pengertian dan kepercayaan antar sesama seringkali menjadi ancaman serius terhadap konsistensi koran secara berkala. Rasa solidaritas yang mestinya menjadi kunci eksistensi dan konsistensi redaksi untuk menjalankan kewajiban, seolah olah hanya menjadi bayang bayang semu.


Tingkah laku yang kurang ajar juga acapkali membuat redaksi bersifat angkuh dan apatis terhadap tugas yang menjadi prioritas utama. Sehingga pada hakikatnya, perkembangan redaksi pun sedikit melamban ketimbang tahun tahun sebelumnya. Sejatinya seluruh problematika yang dialami kepengurusan koran pada tahun sebelumnya juga telah dialami oleh tongkat estapet kepengurusan koran saat ini.


Kendati demikian, rasa untuk merevitalisasi pergerakan penerbitan pada dinamika historis selalu terpatri dibenak redaksi, upaya untuk menggali dan mereparasi nilai nilai sejarah pun terus dilakukan demi mencapai masa depan yang gemilang, semisal mereaktifkan program yang sempat fakum dengan bersinergi bersama instansi lain merupakan solusi cemerlang dan efektif dirasa oleh redaksi.


Menela'ah pada hal itu, sudah menjadi kewajiban bagi tiap redaksi untuk terus berambisi meningkatkan kinerjanya di sektor manapun. Dengan terus bergerak dinamis, ber-tafakkur dan saling memahami. Tentu aksi juang dan kontribusi nyata yang orientasinya pada eksistensi penerbitan pun akan tampak dirasa, layaknya pepatah mengatakan "Bergerak maju atau diam dilindas sang waktu", maka dari itu kita tentu mampu memahami hal demikian dengan bersikap loyal demi menggali nilai nilai historis yang kian terpendam sejarah.





Penulis merupakan pimpinan umum redaksi majalah kharisma edisi 29-30

Rabu, 19 Desember 2018

Mengkaji Konsep Sosio-Islam di Nusantara

Mendengar kata islam, pasti kita akan berpikir terhadap sebuah agama dengan konsep konsep spiritualitas yang yang masih eksis bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan, islam sendiri memiliki hak hak dan norma norma yang logis serta mudah diterima oleh kalangan masyarakat awam.
Sebelum ditelisik lebih dalam, perlu adanya sebuah wawasan atau wacana mengenai agama itu sendiri, menurut Wikipedia.com, agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
 Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap gerak gerik yang kita lakukan dan paradigma yang kita miliki, agama selalu menjadi pedoman atau sebuah dogma bagi setiap penganutnya. Dari sekian banyak penganut agama yang bercabang di dunia, islam merupakan agama samawi yang menduduki peringkat nomor satu di seluruh manca negara.
Mengapa demikian?, dalam hal ini perlu ditilik dari masyarakat sendiri yang pada mulanya menganggap agama atau islam sendiri merupakan hal yang asing sampai menjadi ajaran yang tidak tabu. Namun pada akhirnya, mereka tertarik untuk mengkaji dan menganut agama islam itu sendiri.
Dari pelbagai problematika dan kontroversi yang ada dunia ini, islam hadir ditengah tengah mereka sebagai penengah yang memberikan jalan serta konsep yang efektif, inovatif dan progresif. Melalui caranya yang lugas dari sumber kitab sucinya (al-qur’an), islam tidak hanya mengajarkan tentang norma norma hukum (rule of law) dan juga norma norma religious yang bersifat transenden.
Akan tetapi, jika kita sedikit melirik pada fakta yang bertebaran dilapangan, mayoritas mengatakan bahwa islam hanya sebuah konsep yang berisi tentang kegiatan kegiatan ilahiyat dan juga konsep konsep ketuhanan, selain hanya berupa konsep ilahiyat, islam juga memberikan sebuah paradigma yang memiliki korelasi antara haqqul adam. Akan tetapi, sering kali pada konsep yang terakhir ini sangat jarang di indahkan sehingga disvergensi dan disuasi sering terjadi pada umat islam sendiri.
Sedikit memandang paradigma islam ke barat khusunya di amerika, setelah tragedi WTC, islam seolah olah menjadi agama yang tak jauh dari kata kriminalitas. Sebagian dari penduduk awam amerika yang takut terhadap islam, yang sat ini kita kenal dengan istilah islamphobia. Padahal pada hakikatnya, islam telah mengajarkan untuk saling menghormati dan saling menghargai antar umat agar integrasi bangsa tersebut menjadi lebih progresif dan inovatif.
Menurut penduduk awam amerika, eksistensi islam seolah olah berlaku tidak adil dan bersikap diskriminatif dalam berinteraksi antar sesama. Tak hanya itu, islam bahkan kerap kali dicap radikalis, padahal hal itu sangat bertentangan dengan konsep yang telah terdogma di dalam esensi al-qur’an sendiri.

Sosio-islam di zaman modern

Intensi semua agama pada umumnya adalah ingin merealisasikan adanya sebuah solidaritas dan tasammuh antar sesama umat, bukan malah membuat kerusakan atau degresi moral maupun bangsa. Dari sekian banyaknya agama yang berusaha mengajarkan kebaikan serta kebajikan, islam merupakan ajaran yang sangat relevan bagi masyarakat. Terbukti, di pelbagai zaman apapun, islam mampu beradaptasi dan eksis dalam memecahkan tiap tiap problematika antar sesama maupun lingkup tatanan negara.
Fakta yang beredar dilapangan saat ini menyebutkan bahwa banyak dari penduduk islam yang mengatakan, bahwa Islam hanya berisi konsep ketuhanan. Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara inten dan tidak adanya tindakan kongkrit. Otomatis islam yang hakiki akan menjadi bayang bayang semu di telinga masyarakat sosial.
Sebagai contoh yang tidak bisa kita nafikan oleh fakta historis adalah, pada masa dinasti umayyah dan dinasti abasiyah, keadilan dalam islam seolah olah hanya menjadi bayang bayang semu, adanya sebuah kesejahteraan dalam dua dinasti tersebut cukup rumit untuk digapai, bagaimana tidak, orang yang rajin melakukan ibadah : sholat, zakat dan juga peribadatan lainnya, seolah olah mereka lah orang orang yang sholeh dan alim dalam memaknai konsep islam secara hakiki.
Akan tetapi, untuk melihat kaum kaum duafa’ dan orang orang fakir lainnya, sebagian dari mereka kurang peduli dalam hal itu, sehingga yang terjadi adalah sulitnya mencapai loyalitas dan kesejahteraan bersama antara pejabat dengan rakyat jelata
Beralih ke Nusantara, kata islam sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, mayoritas penduduk di Indonesia merupakan pemeluk setia agama islam. Akan tetapi, fakta yang terjadi di kalangan masyarakat menunjukan adanya sebuah ketimpangan sosial. Sebagai contoh, orang miskin, janda dan fakir miskin yang kehidupannya masih di ambang pintu (belum terjamin). Memang, pada beberapa dekade pemerintah sudah menyikapi hal itu.
 Akan tetapi, faktanya adalah banyak dari mereka yang masih melarat. pemerintah perlu merespon lekas agar kehidupan mereka terjamin. Jika tidak, dapat dipastikan, angka pengangguran akan meningkat dan tindakan kriminalitas tak akan mampu untuk dibendung.
Jika hal ini dibiarkan begitu saja. Lantas, dimana makna islam yang hakiki?. Bagaimana nasib bangsa yang kurang memedulikan fakir miskin yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?. Mau disebut apa bangsa kita jika hal mengerikan itu terjadi?, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama dengan pelbagai aksi untuk mengubah bangsa menjadi lebih progresif.
Kembali pada makna agama, dalam bahasa sangsekerta, A berarti tidak, sedangkan GAMA bermakna kacau balau. Dengan begitu, jelas bahwa agama memiliki peranan penting bagi tiap individu. Selain itu, konsep pemikiran progresif yang memadukan sosio-islam juga perlu diterapkan secara matang. Hal  itu dikarenakan, agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan bangsa akan menjadi bangsa yang progresif serta mampu bersaing di kancah global.
Upaya sosio-islam terutama dalam menjunjung asas keadilan bagi bangsa harus di upayakan khususnya kepada mereka yang tak mengetahui arti dasar falsafah keislaman. Oleh karenanya, perlu adanya aksi dari para revolusioner agar islam mampu menjadi kebutuhan primer bangsa dalam berinteraksi serta memberikan kontribusi bagi umat.

Penulis merupakan siswa aktif kelas XII PK 1

Menyoal Ruang Gerak Jurnalis di Sekolah

Sekolah merupakan sarana utama untuk memberikan pendidikan yang bermutu bagi  putra-putri bangsa, hal itu bertujuan agar generasi mampu bersaing di kancah global dengan negara-negara lainnya, baik dari segi tatanan ekonomi, politik maupun sosial budaya yang seharusnya memang perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan cara yang khusus.
Sebagai negara berkembang, indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki metode pendidikan dengan formulasi yang sangat detail, hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan indonesia yang telah mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki daya pikir yang relatif kuat dan cara berpikir yang mampu melahirkan sebuah terobosan cemerlang untuk menyelesaikan problematika bangsa.
 Tak hanya mampu membuat rumusan dalam meluluhkan permasalahan, indonesia juga mendidik anak bangsa dengan pelbagai pelajaran yang memang dikhususkan, semisal matematika, IPA, IPS Dsb. hal itu dikarenakan agar persaingan profesi kerja dalam negeri pun terus terjadi untuk menuju indonesia emas di tahun-tahun mendatang.
Suguhan lainnya dalam ranah pelajaran adalah adanya sebuah pelajaran yang dapat diterima melalui  kejadian  yang empiris. Artinya, pelajaran tersebut didapat bukan melalui prosedur mekanisme kerja seorang siswa dalam mengasah kemampuannya. Melainkan, siswa tersebut memperoleh pengetahuan itu melalui cara yang ia sukai, sehingga, metode ini pun mampu menjadi salah satu metode efektif bagi paradigma siswa itu agar mampu menjadi pemuda elintis.
Namun sayangnya, pelajaran ini nampaknya menjadi pengganggu pada mata pelajaranyang cenderung tuntutan, pasalnya, pelajaran semisal kepemimpinan dan pendidikan karakter pun memiliki kecenderungan negatif bagi kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
terkadang, siswa yang senang menggeluti organisasi kewalahan dalam mengurus kinerjanya, disamping ia harus mengikuti mata pelajaran selama sembilan jam, ia pun memiliki sebuah amanah yang harus ia laksanakan secepatnya, alhasil, korelasi antara keduanya pun menghasilkan hasil yang kurang optimal dalam menyerap ilmu yang didapati siswa itu.
Ini pun sama halnya dengan para jurnalis di sekolah yang memiliki kesibukan pada jam sekolah, yakni,  ketidak adaannya waktu senggang dalam melaksanakan pekerjaan itu. Jika kita analisa bersama, lembaga pers yang berada di bawah naungan Madarsah memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas, saat pembelajaran KBM aktif, seluruh siswa dituntut untuk memasuki kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran sebgaimana mestinya,
Sedangkan pada malam hari, para jurnalis kurang diperbolehkan dalam menjalankan tugasnya sehingga, para jurnalis pun rela mencuri waktu meski hanya beberapa menit untuk menyelesaikan tugas. Jika kita mengambil kesimpulan atas contoh tadi, maka timbul sebuah pertanyaan yang menggelikan.  lantas, dimana ruang gerak kebebasan para jurnalis dalam menyelesaikan tugasnya secara optimal ?.
Hal ini pun nampaknya masih menjadi sebuah bayang-bayang yang masih belum jelas kepastiannya. melihat bahwa realita lembaga pers masih dianggap sebelah mata oleh oknum terkait, sehingga pembelajaran tuntutan kian ditekankan dalam menggali potensi siswa daripada pelajaran yang bersifat penalaran dan aksi nyata yang mestinya mereka sukai.
Padahal jika kita kategorikan, seorang siswa yang menjadi seorang jurnalis di sekolah itu dan siswa yang hanya aktif di pembelajaran dikelas adalah dalam kategori sama-sama belajar, mereka pun sama-sama berkembang dalam bidangnya masing-masing,
Jika masing-masing dari mereka diberi ruang gerak yang seimbang dan adil, hal ini tentunya akan berdampak pada eksistensi sekolah bahwa disekolah tidak hanya melahirkan seorang yang ahli dalam teori, namun juga ahli dalam bidang kepemimpinan, berorganisasi dan bahkan mampu melahirkan seorang jurnalis yang cakap.
Dewasa ini, pelbagai sekolah pun sudah mulai menggunakan sistem yang berbeda, yakni sistem yang biasa kita kenal dengan fullday school, tentunya hal ini menjadi salah satu faktor pemicu utama  yang juga berdampak pada ruang gerak jurnalis yang sempit untuk mematangkan pembelajaran para jurnalis baik secara otodidak maupun dengan bimbingan.
Hal ini pun juga memiliki korelasi dengan adanya program lembaga pers yang berupa koran, tentu adanya koran itu harus adanya kebijakan tentang waktu khusus dalam penerbitannya yakni dua kali dalam satu minggu, baik dari segi peliputan, wawancara maupun segi lay out koran tersebut.
Tak hanya akan memberi efek positif bagi sekolah, hal ini pun juga akan berdampak pada instansi yang kelak menerima siswa lulusan sekolah itu. tentunya instansi tersebut tidak akan merasa dirugikan dengan terekrutnya anggota baru yang telah memiliki nilai plus dalam bidang di instansi tersebut.

Oleh karenanya, perlu adanya sumbangsih lebih mengenai waktu para jurnalis agar mampu menyelesaikan tugas secara optimal, dengan adanya hasil yang optimal itu, tentunya akan memberi kontribusi nyata bahwa madrasah pun memiliki siswa yang ahli dalam bidang jurnalistik, baik peliputan, berita, lay  out dsb.                          
Penulis merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Kharisma
MA Nurul Jadid masa Bhakti 2018-2019

Happy Brithday Bapak Mawardi

Seiring berjalannya waktu, konsistensi program progam kharisma terus mengalami perkembangan dan peningkatan yang signifikat, seluruh upaya dan jerih payah redaksi nyatanya tidak menghasilkan sebuah karya dan kreativitas yang tidak sia sia, belajar dari faktor faktor empiris, saat ini terjadilah sebuah revolusi yang kian membawa nama baik Lembaga Pers Siswa (LPS) kharisma dan juga MA Nurul Jadid.
Semangat dan prinsip redaksi yang tiada habisnya terus menjadi sandaran anggota untuk membawa titah nama Madrasah kian gemilang, tak hanya di tingkat Jawa Timur, tapi juga bisa membawa  LPS kharisma dan Madrasah ke seluruh penjuru Nusantara bahkan ke tingkat internasional.
Dalam semangat yang tak henti hentinya menguras semangat dan pemikiran redaksi untuk menjadi lebih progresif dan menjadi siswa yang elintis, hal ini tak lain dan tak bukan juga dilatar belakangi oleh adanya eksistensi sang Pembina dalam mendidik kami, selaku anak didik beliau.
Terbukti dalam seluruh penerbitan, waktu dan tenaga yang dikerahkan oleh kru redaksi selalu mendapat semangat dan sanjungan darinya, bahkan dalam pelbagai kesibukan yang ia miliki, tak segan beliau untuk mengayomi dan menerima saran saran kami untuk kemudian dijadikan sebagai acuan hukum dalam etika pers di kharisma.
Oleh karenanya, rasa emosionalitas tiap kru redaksi pun meluap untuk melaksanakan tiap tiap target yang ditempuh dengan strategis dan sistematis oleh redaksi meski pelbagai batu cadas menjadi penghalang untuk mencapainya. Dalam hal ini pula, tidak adanya sebuah kelebihan yang mampu redaksi berikan selain pra kata yang tidak ada faedahnya dan tidak terlalu bermakna.
Dalam merealisasikan adanya sebuah karya yang dimunculkan oleh para kuli tinta, tentunya sangat urgen dalam menjaga eksistensi penerbitan agar tidak mengalami degredasi yang berkelanjutan. Hal ini pula perlu disokong dari pelbagai pihak agar penerbitan mampu terus konsisten dan kian sukses pada generasi mendatang.
Di setiap pergerakan kru redaksi yang selalu dijilat dengan cacian, hujatan dan makian oleh pelbagai pihak yang terkadang membuat nyali redaksi menciut, pada saat bersamaan itu pula lah beliau hadir mengokohkan jiwa jiwa mereka (redaksi) untuk terus berjuang dan terus berproses sebagai upaya untuk meraih kesuksesan yang hakiki di masa depan nanti.
 Efek itulah yang membuat redaksi sekalian pantang mundur dalam menghadapi pelbagai problematika yang selalu menyudutkan mental seorang jurnalis. Sebagai seorang jurnalis siswa yang bernotabene di lingkungan pesantren, tak ada kata lelah dan keluh kesah dari redaksi, sebab seluruh kru meyakini, bahwa pahitnya proses yang dirasakan saat ini, akan berbuah manis di masa depan.
Oleh karenanya, hari spesial dalam hidup beliau tepatnya tanggal 08 - 08 - 2018 itu, redaksi sekalian menyambutnya dengan tasyakkuran kecil kecilan yang merupakan sebuah timbal balik redaksi terhadap beliau selaku pembimbing redaksi baik dalam keadaan apapun dan bagaimanapun.
Memang tak seberapa, namun hal itu merupakan sedikit apresiasi dan rasa terima kasih terhadap beliau yang tak kenal lelah di setiap penerbitan yang kami lakukan sehingga kami bisa menjadi insan kamil dan mampu menjadi siswa produktif yang beraktualisasi di bidang jurnalistik dengan etos dan Jalinan kerja sama yang erat.  Akhir kata dari kami selaku anggota redaksi, "Happy Brithday bapak mawardi".

penulis adalah siswa aktif kelas XII PK 1

Terorisme : Jihad atau Jahat

Dewasa ini, kita telah digegerkan dengan merebaknya paham paham radikalis yang sedikit ke sedikit membawa bangsa ini mengalami kemerosotan secara terus menerus. Memang tak bisa dipungkiri, paham radikal ini telah mampu eksis menyusupi tempat tempat yang cukup strategis, semisal kampus-kampus sampai ke pemerintahan.
Tak bisa dielakkan pula, eksistensi munculnya ketegangan ektrimisme para radikalis nyatanya tidak melulu dari pelajar atau tokoh tokoh elintis. Paham radikal ini juga telah menyusupi kalangan orang awam untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok tertentu. Alhasil, aksi terorisme pun akan sulit diredam mengingat bahwa penyebar dari aksi teroris di nusantara adalah orang pribumi sendiri.
Kendati demikian, pemerintah telah membentuk Badan Nasioanal Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bertugas untuk memberantas adanya aksi terorisme di Nusantara. Tahun 2018, telah kita ketahui bersama tentang kembalinya organisasi HTI dan JAD yang membuat resah masyarakat sosial.
Contoh kasus organisasi yang melanggar UUD tersebut harus diwaspadai secara inten. Pasalnya, organisasi tersebut tentu akan bertentangan dengan falsafah negara yang menjadi ideologi Negara saat ini. Jika hal ini tidak ditanggulangi secara inten, tentu Indonesia yang demokratis pun lambat laun akan terkikis keberadaanya.  Memang aksi radikal telah menjadi bayang bayang yang mengerikan di dinamika dikalangan pemuda elintis. Pasalnya, pemuda khususnya mahasiswa merupakan penerus bangsa yang memiliki paradigma serta pola pikir yang tergolong bebas.
Adanya terrorisme ini, tentu tak luput dari adanya paham paham radikal yang menjadi akar problematika bangsa, dimana aksi terorisme di kampus ini terjadi lantaran kurangnya pengawasan secara inten oleh para ahli dan guru dalam menjaga anak didiknya ketika melakukan sebuah pergerakan yang sistematik. Bahkan, terpisah dari itu semua, dosen atau tenaga pengajar di Kampus juga membawa paham radikalis yang disusupi ke anak didiknya sehingga membuat pradigma pelajar awam cenderung berubah bengis dan menjadi salah kaprah.
Namun jika melihat terhadap fakta yang ada, hal itujarang adanya, mengingat bahwa tenaga pengajar merupakan orang  telah memiliki keyakinan yang mantap dan pemahaman yang begitu kuat, sehingga paham radikal akan lumayan susah untuk mengubah dogma akal terhadap tenaga pengajar tersebut.
Paham radikalisme ini terjadi sebab wawasan yang didapat oleh para pelajar itu kurang kritis (dangkal) -dirinya hanya berpaku pada satu konteks dan satu teori, sehingga  yang terjadi adalah ia merasa orang yang paling benar dalam mendalami sebuah doktrinan dan menganggap semuanya adalah fiktif belaka yang harus segera dimusnahklan. Bahkan tak jarang, para penganut selain ajaran yang ia bawa ia klaim sesat, neraka, bahkan kafir.
Apabila hal itu telah merebak ke seluruh tempat di Indonesia, maka jelas yang akan terjadi adalah kurangnya rasa saling menghargai, cinta mencintai dan  saling menghormati antar umat. Bahkan lebih parah lagi, akan banyak ditemui aksi kriminalitas, intimidasi dan teror yang mengancam dinamika masyarakat secara umum.
Dimana mereka berpikir bahwa mereka telah melakukan jihad yang mengatasnamakan agama sebagai benteng syar'i  adanya penolakan dari agama atau pun golongan lainnya. Padahal, jelas bawa seluruh agama di dunia ini pasti bertujuan untuk berdamai dengan golongan atau agama lainnya,.
Maka dalam hal itu, perlu adanya sebuah  regulasi dan inovasi yang efisien untuk memberikan penyadaran secara bertahap terhadap orang yang telah terjangkit dengan paham paham radikalis, pemerintah harus secara tegas memberikan sangsi terhadap para teroris agar bangsa ini tetap teguh pada ideologi bangsa  dan tetap respect antar umat beragama.
Sedangkan untuk kaum pelajar, maka urgensi pendidikan multikultural merupakan wacana efektif dalam menanggulangi adanya paham radikalisme di Indonesia, mereka perlu disinyalir dan dididik untuk bisa saling menghargai dan saling menghormati meskipun berbeda agama, ras dan budaya.

Penulis merupakan pemimpin redaksi Majalah Kharisma Edisi 29-30